Siapa yang percaya kekuatan-kekuatan lain di luar ikhtiar manusia? Mulut mungkin percaya tapi kadang hati memungkiri. Sudjiwo Tedjo, seniman antik yang khas dengan gaya tulisan nyentriknya, pernah berceloteh bahwa mengkhawatirkan besok makan apa saja sudah bentuk menghina Tuhan. Kasar tapi ada benarnya. Kita sebagai manusia, kadang tanpa disadari, sibuk mengkhawatirkan soal rezeki, menyimpan iri dengki, berbuat curang, bahkan mengerjakan hal-hal yang tidak halal atas nama rezeki, padahal Allah SWT jelas-jelas menjanjikan kecukupan rezeki. Ujian iman memang kadang tipis tak terasa tapi nyata.
Setelah menikah, saya belajar banyak dari suami tentang "keimanan". Salah satunya, mengimani segala sesuatu yang sedang kita lakukan, pintakan ridho Allah dan percayalah semua akan berjalan indah.
Kembali soal rumah, orang yang mengenal saya pasti tahu saya bukan orang yang berani ambil risiko, sering ragu takut rugi. Dan inilah kenekadan pertama saya. Membeli rumah tanpa modal uang besar. Tapi kami sangat yakin doa dan ikhtiar kami akan menjodohkan kami dengan rumah ini. Dan mulai dari sinilah berbagai kemuliaan Allah terjadi.
Percaya tidak percaya, hingga sekarang kami sanggup memenuhi cicilan DP bulanannya. Tipsnya: menyisihkan langsung gaji kami berdua di rekening berbeda. Di tulisan lain, nanti saya akan share "manajemen keuangan rumah tangga ala Nana", karena akan panjang dan ribet khas saya. Hihihi.
Sekembalinya ke Batu Kajang saat itu, kami mulai hidup hemat (baca: sangat hemat). Sebulan kami paling hanya menghabiskan pengeluaran 3-4 juta, sudah untuk bayar sewa kontrakan, biaya listrik, bensin, pulsa, dan paling banyak uang belanja. Saya "dipaksa" memasak setiap hari agar lebih hemat, dan tiba-tiba saja keahlian mengolah masakan dari sisa-sisa mikilo di kantor pun meningkat. Ada sisa ayam goreng dijadikan suwir-suwir kecap atau campuran sayur, ada lauk tahu kulit dimasak tumis ala teriyaki sauce, yang paling sering dibawa pulang adalah nasi-nasi kotak yang tak dimakan untuk disulap menjadi nasi goreng bekal sarapan.
Kami pernah menghitung kasar, perkiraan kami, kalaupun nanti kekurangan uang untuk bayar DP, maka kami harus meminjam minimal 50 juta. Pak Putu, mantan bos saya, dengan pengalaman bisnis tanah dan rumahnya, menasehati saya untuk terus maju pantang mundur, beliau bilang "nanti kalau memang kurang, bilang saya!" hahaha.
Dan tebak, Allah memberi lebih dari yang bisa kami bayangkan. Pada akhirnya pun saya batal mutasi, ketika suami sudah mendapat pekerjaan barunya, DP rumah sudah berjalan sekian bulan, Subhanallah. Tapi memang begitulah yang harus saya jalani. Siapa yang pernah menyangka, kalau tiba-tiba kami berdua mendapat rezeki lain karena keputusan kami untuk hijrah. Rezeki yang cukup untuk menutup cicilan DP bahkan melebihi kontrak. AllahuAkbar, Allah Maha Baik :)
---
No comments:
Post a Comment