Pages

Sunday 20 September 2015

Socmed?

Jaman sudah beda. Perubahan disadari tidak disadari mulai mengakar menjadi sebuah ideologi dalam masyarakat yang hidup di jaman itu.
 
 
Socmed. We name it, social media, the way of technology to connect into social public. Sudah banyak ragamnya, generasi 90'an pasti kenal Friendster dulu, gagal berkembang, matilah socmed satu ini. Mati satu, tumbuh seribu. Muncul-lah kemudian, Facebook, Twitter, Instagram, Foursquare, Path, belum lagi communication app seperti BBM, Whatsapp, LINE, WeChat, Skype, dan lain sebagainya.
Pada dasarnya mereka semua diciptakan untuk membantu menghubungkan satu sama lain yang terpisah jarak. Membantu menyebarkan informasi secara masif dan cepat. Membantu menemukan kawan saudara lama. Memberi wadah untuk sharing news dengan cara yang instan. Sampai pada akhirnya, socmed mulai menyusup pada kebiasaan, moral, hingga jati diri seseorang. Efeknya "mengerikan".
 
 
Masih hot kasus Aurel Hermansyah si Loli itu lho yang ribut-ribut sama ibunya, Krisdayanti via Instagram. Iya mereka -dan adek Aurel- saling berbalas pesan lewat caption foto di Instagram. Lucu sebenarnya, seolah mereka tak punya media lain untuk berkomunikasi. Kan makin lucu, perdebatan mereka menjadi konsumsi publik gegara socmed. Demi apa saya ikut ngegosipin mereka di blog ini... huaaaaa
 
Tak jarang juga, kasus beberapa anak muda yang akhirnya kena bully netizen karena status di socmed-nya. Sebut saja Dinda yang 'populer' karena opini teganya terhadap ibu hamil, atau mbak-mbak bernama Florence yang salah langkah dengan menghina Jogja padahal kota ini punya banyak penggemar. Atau status-status lain yang dianggap tak ber-etika bertebaran di Path/Facebook.
 
Kejadian-kejadian itu tak seberapa dibandingkan suicide case karena social media. Ada dan nyata. Coba baca-baca kisah ini. Cyberbullying, sedang menjangkiti seluruh dunia, korbannya bukan hanya anak remaja, bahkan orang dewasa sekalipun. 
 
Tak perlu jauh-jauh, bahkan saya pun pernah terlibat 'perselisihan' gara-gara status Twitter. Saya, anak yang alay pada jamannya, terlalu gegabah mem-posting suatu pendapat atas nama solidaritatas, mengeluarkan kritik tanpa crosscheck. Korban status saya tak lain adalah manajemen jurusan tempat saya kuliah dulu. Alhasil, dari yang dulunya jadi mahasiswi kesayangan para dosen, saya berubah jadi 'musuh' oleh beliau-beliau. Dalam kurun waktu sekian minggu, nomor dan email saya penuh dengan pesan para dosen, dari yang bertanya mengkonfirmasi, memberi semangat, sampai yang tiba-tiba muncul dengan kalimat provokatif. Fiuh... menyesalkah saya? IYA tapi juga TIDAK... nah lho! Saya paham dan saya belajar bahwa sebuah pendapat, sekalipun itu benar, ada cara yang lebih tepat dalam menyampaikannya. Tapi saya tak kapok untuk bersuara di socmed, walau kadang mungkin terdengar tajam, tapi dengan cara itu seseorang bisa didengar ketika cara yang lebih halus justru diabaikan.
 
Akhir-akhir ini, saya lebih jarang bermain socmed. Satu karena suami protes saya lebih sering pegang hp daripada peluk dia. Haha. Dua, karena saya merasa mulai bosan, kadang takut. Saya takut, terlalu banyak prasangka, niat, perasaan, dan segala sesuatu yang tak terlihat muncul di hati karena socmed. Kadang melihat postingan orang lain yang berbau-bau pamer, saya merasa "ih sombong banget sih..." tapi dalam hati saya saar belum tentu niat dia pamer, siapa tahu orang lain juga pernah merasakan hal yang sama pada postingan saya. Astaghfirullah...
Jadi sekarang saya pilah-pilah lagi apa dan kapan saya posting sesuatu di socmed. Toh, kata suami, socmed tidak membuat kita kekurangan kok.

No comments:

Post a Comment