Pages

Tuesday 6 October 2015

Sensasi Hidup di Batu Kajang

Izinkan saya curhat khas ibu-ibu. Lelah hayati bang, lelah.
 
Saya,
Bukan hayati, tapi bin hariyati.
Sedang sedih karana mata perih. Asap dimana-mana, debu beterbangan, bernafas pun sesak. Sedang batu pilek. Korban ISPA.
 
 
Hampir setiap hari, di perumahan tempat saya tinggal (semantara) di sini, Batu Kajang, listrik mati. Dulu PLN menggilir pemadaman setiap perumahan seminggu dua kali, kemudian semakin sering menjadi dua hari sekali. Eh lha kok sekarang setiap hari mati, dari sore hingga pagi menjelang. Bayangkan situasi tanpa lampu, tanpa ac, tanpa charger hp. Suram. Sungguh-sungguh menyeramkan. Saya menjadi sensitif, senggol sedikit mengomel. Untungnya hasrat memasak belum pudar. Meski gelap saya paksakan memasak, bukan apa-apa sih, bukan karena pintar memasak, tapi memang karena harus berhemat cyin... saya dan suami sekarang tak pegang uang cash sama sekali, menabung demi cicilan.
 
Lalu belum lagi persoalan air sumur yang habis entah sejak kapan, mungkin sebulan atau dua bulan lalu. Saya dan suami bergantung pada pasokan air dari tetangga, membelinya lima puluh ribu rupiah sekali isi tandon 1500 liter. Air yang konon sumbernya dari sungai. Setiap dua minggu sekali, saya tak pernah absen menghubungi beliau untuk mengisi air. Kalau telat terisi, mau kami siram apa kamar mandi kami nanti. Eaaa.
 
Hidup di Batu Kajang, desa pekerja, sudah menjadi sebuah rutinitas, keramaian pekerja tambang dari pagi hari bahkan sebelum matahari terbit. Namun akhir-akhir ini Batu Kajang semakin riuh saja. Ramai kampanye calon pemimpin desa, calon bupati, calon dewan, dan calon-calon lain. Keriuhannya tapi tak memberi banyak efek pada pembakaran lahan di sekitar sini. Setiap hari asap masih menyelimuti awan Batu Kajang. Salah siapa? :| Desa ini cukup menggambarkan betapa mirisnya pemerataan kesejahteraan hidup di Indonesia. Desa yang katanya desa pekerja, bekerja menambang salah satu sumber energi tapi justru serba kekurangan energi karena setiap hari mati listrik.
 
Saya bertahan. Saya bersabar. Atau setidaknya masih mau belajar bertahan dan bersabar. Nanti masa-masa susah ini akan menjadi memori manis ketika sukses, Nana. Begitu kata saya pada diri sendiri. Suami pun selalu siap siaga. Saya heran darimana datangnya motivasi dan semangat hidupnya itu. Continue up. :)
 
Sudah sudah. Selesai di sini saya curhatnya. Isi postingan kok mengeluh terus. Hihihi. Next time, saya mau cerita soal dapur. Saya sedang excited memasak. Mulai masak dari nol sampai sekarang masih nol koma juga sih... see yaaa :*

No comments:

Post a Comment