Pages

Sunday 31 October 2010

Tulisan 'Sampah' Berjudul (akhirnya punya judul) STAND FOR CHANGE

Sebuah tulisan yang tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya ketika insomnia mulai membuat saya tidak bisa tertidur malam ini
Sebuah tulisan yang tidak dimaksudkan bahkan tidak ditujukan secara personal, kelompok tertentu.
Ini yang saya rasakan, ini ungkapan hati dan pikiran saya.

Mengapa momen evaluasi selalu menjadi ajang untuk saling menyalahkan, yang seharusnya ajang MEMPERBAIKI?
Menurutku budaya "conflict management" ketika evaluasi harus dibenahi, DAMPAK BURUKNYA LEBIH BANYAK DARIPADA DAMPAK BAIKNYA.

Budaya yang terlanjur mengakar di masyarakat memang sulit untuk diubah. Saya pernah diingatkan oleh seorang teman, tentang cerita dalam sebuah buku yang saya pinjam dari teman saya tersebut yang berjudul "Norman Edwin Catatan Sahabat Sang Alam" ada cerita menarik yang berkorelasi dengan apa yang ingin saya sampaikan di sini:


Pernah tahu Reog Ponorogo? Pastiii sudah kenal semua, justru aneh kalau ada di antara kalian yang tidak mengetahui budaya nasional yang berasal dari Ponorogo Jatim ini. Tahukah kalian Singabarong? Singabarong itu adalah kepala reog yang BESARRR sekali itu. Bentuknya melebar ke atas dan berkepala harimau.

Nah, TERNYATA Singabarong ini dibuat dari bahan-bahan yang benar-benar berasal dari makhluk hidup. Silahkan 'googling' kalau lupa bentuk barong/kepala reog itu seperti apa.
Bulu merak yang terdapat pada Dadhakmerak pada satu kepala Singabarong merupakan bulu ASLI MERAK sebanyak minimal 1000-3000 helai. Bisa dibayangkan berapa banyak merah yang dikorbankan?
Selain itu kepala harimau yang dipakai pada Singabarong juga asliii dari harimau jawa (dulu), harimau sumatera, atau minimal macan tutul.
Dan hewan-hewan itu ditangkap secara liar dari hutan dan ilegal.

Sungguh ironi, ketika slogan lestarikan budaya bertabrakan dengan slogan lindungi hewan langka Indonesia.

Sudah banyak kritikan dan masukan untuk para pengrajin reog, mulai dari mengadakan penangkaran hewan khusus untuk supply bahan-bahan yang dibutuhkan, namun ditolak. Alasannya: "Bulu merak hasil penangkaran kurang berseni tinggi dibanding bulu merak dari hutan".
Lalu ketika disarankan untuk mengubah kepala harimau asli dengan kepala harimau buatan dari bahan kain sintesis bermotif loreng atau tutul, mereka juga menolak. Alasannya: "Ah, itu malah akan mengurangi nilai orisinilnya reog".

Semakin lama, reog semakin banyak diproduksi, berdampak juga pada cinderamata-cinderamata berbentuk reog mini yang ikut meningkat pesanan produksinya, jadi bisa dibayangkan berapa banyak lagi burung merak dan harimau yang sengaja dibunuh untuk memenuhi kebutuhan tersebut?

Ada kalimat menarik yang saya kutip dari penulis
"Tak mudah memang mengubah sesuatu yang telah terlalu mapan, lebih-lebih kalau itu sudah menjadi kebanggaan."

Ada banyak hal yang membudaya di sekitar kita, banyak, banyak sekali.
Kutipan cerita di awal tulisan ini hanya sepersekian contoh kasus, masih banyak budaya-budaya buruk lain yang terlanjur mengakar di masyarakat. Mulai dari hal sepele sampai hal berbobot seperti budaya korupsi.

Tidak mudah membuat perubahan, namun itu bukan sebuah alasan untuk berhenti melakukannya.
Sekarang mungkin usaha untuk membuat perubahan itu belum nampak, namun beberapa tahun ke depan akan nampak hasilnya bila perubahan itu tetap dikontrol.

Kembali tentang masalah pelatihan, saya mengalami dan mengamati banyak pengalaman orang lain pula yang merasakan dampak buruk dari sebuah "conflict management" yang kurang tepat. Saya tidak tahu, niat sesungguhnya apa yang seseorang sedang sampaikan ketika mencoba mengevaluasi. Saya sih BER-POSITIVE THINKING saja, bahwa mereka memang berniat memperbaiki kesalahan, namun terkadang apa dan bagaimana proses mengevaluasi tersebut malah menjadi sebuah usaha yang DESTRUKTIF bukan KONSTRUKTIF (teringat istilah ini sering diucapkan oleh teman saya).

Salah satu alasan saya terjun di dunia kepemanduan dan kepelatihan adalah lebih banyak mempelajari sistem pelatihan ini, supaya saya tahu sebenarnya latar belakang budaya-budaya itu muncul. Sehingga saya yakin, apakah memang ini dibutuhkan atau tidak?

Sekali lagi saya menyadari, mengubah itu tidak mudah alias SULIT. Namun, who knows, bisa saja saya menjadi bagian dari sejarah yang mengubah dunia, seperti seorang Kartini yang mampu mengubah tradisi lama tentang feminisme dan emansipasi menajadi tradisi baru yang lebih bermartabat.
Saya yakin, Kartini dulu tidak akan penah membayangkan bahwa jasanya begitu besar bagi kaum wanita, tanggal lahirnya diperingati oleh orang se-Indonesia setiap tahunnya, bahkan dibuatkan lagu khusus untuknya.
Saya yakin, Kartini pun mengalami banyak halangan ketika meng-inisiasi perubahan itu.

Jadi mengutip slogan kampanye Barrack Obam
"STAND FOR CHANGE, WE CAN BELIEVE IN CHANGE"

Sekian.
Semoga bermanfaat.

Selamat malam. Selamat tidur, semoga mimpi indah. Mimpi yang akan menjadi sebuah cita-cita utuk masa depan yang lebih cerah :D
31 Oktober 2010, 2.34 a.m.

No comments:

Post a Comment