Pages

Thursday 5 December 2013

Jika Boleh Berpendapat, BCS Itu...

Ini tulisan lama yang saya tulis ketika ada 'huru hara' terdahulu namun belum sempat terposting. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Murni cuma ungkapan isi kepala, semoga tidak ada yang tersinggung dan merasa tercemar nama baiknya.

Semangat pagi! Salam perdamaian (bukan mengajak konfrontasi)

Tergerak menanggapi isu yang beredar hangat di sebuah grup (dalam hati saya bersyukur, efek positifnya grup itu lebih hidup daripada biasanya). Saya menulis dengan memposisikan diri senetral mungkin, mencoba membuka pikiran kedua belah pihak (A dan B) karena sesungguhnya semua tidak ada yang mutlak benar dan salah.

Untuk kelompok A yang saya hormati,
Untuk kelompok B yang tercinta,
Untuk semua generasi (muda-tua) yang masih setia dan peduli pada istilah pengkaderan,

Pengkaderan yang kami kenal sebagai BCS, sejak dulu istilah ini sudah ada dan saya yakin akan tetap ada hingga nanti, karena ini salah satu core values mahasiswa Statistika ITS, namanya saja Bina Cinta Statistika maka saya sangat tidak setuju kalau (berandai-andai kemungkinan terburuk) BCS ini ditiadakan. Tapi di sisi lain saya setuju apabila BCS ini harus mengalami perubahan, menyesuaikan zaman dan kebutuhan global.

Mengapa BCS penting? Mari saya coba jelaskan manfaat dari BCS yang saya rasakan hingga sekarang kepada kelompok A yang masih memandang sebelah mata, yang mungkin berbeda sudut pandangnya.


Menurut ,mereka, tugas BCS terlau banyak hingga mengganggu kuliah, di sini justru itu yang sedang ingin diajarkan kepada para mahasiswa baru. Di situlah letak tantangannya. HIMASTA dengan para panitia BCS menginginkan adek-adeknya belajar beradaptasi lebih cepat. Karena sesungguhnya di dunia kerja itu jauh lebih ‘kejam’. Orang yang tidak terbiasa mengatur waktunya, membuat prioritas tugasnya akan kewalahan dan kalah. Seorang maba dikondisikan dalam keadaan under pressure karena memang setelah mereka lulus dunia yang dihadapi tidak ada yang seideal diajarkan di bangku kuliah. Saya sangat merasakannya di dunia kerja sekarang. Saya bekerja hampir 12 jam di site profect, berangkat jam setengah 6 pagi, short meeting job pending satu jam, mulai bekerja jam setengah 7 hingga jam setengah 5, jam setengah 6 baru sampai mess, dan itu melelahkan. Di sisi lain, karena masih dalam program FGDP (sejenis program OJT-ODP-apalah itu namanya) saya harus membuat final project, dan itu tidak bisa dikerjakan selama jam kantor, karena pekerjaan sehari-hari sudah banyak menumpuk. Solusinya? Saya harus mampu mengatur waktu sedemikian rupa, mencicil project setiap hari setelah pulang kerja, walaupun rasanya malas dan lelah menjadi satu. Saya terbiasa begadang sejak jaman mahasiswa sehingga tidak terlalu kesulitan ketika harus mengurangi jam tidur 1-2 jam, namun kadang begadang hingga jam 23.00 WITA saja mata ini sudah protes minta istirahat :p

Itu salah satunya, yang lain yang kelompok A keluhkan, maba terlalu sering kumpul angkatan, konsolidasi, apalah namanya. Kalau menurut saya itu adalah salah satu cara membentuk pribadi yang mampu berkomunikasi secara tim. Tidak mudah lho, sampai sekarang pun saya masih belajar bekerja dalam tim yang baik, supaya tidak egois memaksakan kehendak, supaya bisa menerima berbagai perbedaan pendapat, supaya bisa menyesuaikan diri dengan berbagai karakter orang, dll. Hingga sekarang, salah satu yang saya banggakan dari proses BCS adalah saya mampu mengenal menghapal teman-teman seangkatan yang jumlahnya 169 orang. Untuk itu pulalah fungsi “keplek” atau name card yang dulu kami pasang. Kalau menurut mereka itu adalah cara supaya senior mengenal juniornya itu salah, senior tidak punya kepentingan apapun untuk mengenal juniornya. Mereka hanya menawarkan cara agar mereka saling mengenal satu angkatan dengan lebih cepat, minimal mengingat nama mereka masing-masing. Teman seangkat inilah teman seperjuangan yang akan menemani di kala susah senang selama 4 tahun kuliah.

Selebihnya ada banyak efek samping positif dari BCS, walaupun masih ada beberapa yang memang tidak penting dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Maba tak harus diseragamkan, saya sepakat. Perbedaan itu untuk dinikmati dan ditoleransi keberadaannya, bukan dibuat untuk satu sama seragam. Penugasan yang kurang masuk akal juga saya tidak sepakat. Untuk apa memberikan tugas bila tugas itu kurang memiliki esensi di dalamnya. Tapi penting dan tidak penting itu sebenarnya masalah perspektif semata. Saya ingat dulu diberi tugas membuat keplek nama dengan bentuk sekreatif mungkin yang mengandung simbol sigma di dalamnya. Menurut saya waktu itu, tugas ini tidak penting. Tapi sekarang saya baru tercerahkan. Bayangkan bagaimana proses menyatukan ±169 otak untuk satu design keplek, itu tantangan! Lalu bayangkan bagaimana ±169 orang ini membuatnya dalam waktu yang singkat dengan saling tolong menolong, bekerja kelompok, bahu membahu untuk membuat semuanya selesai tepat waktu. Di sanalah proses pengkaderan itu sesungguhnya tercipta. Di situlah orang menemukan jati dirinya, leader/ follower/ supporter? Semua peran itu pentinng, pemimpin tanpa follower bukan siapa-siapa, pengikut tanpa leader tak dapat memutuskan apapun, dan semua tanpa suppoter bisa jadi akan berhenti di tengah jalan karena kehabisan tenaga dan semangat.

Well, saya masih suka senyum-senyum sendiri mengingat masa BCS. Menyenangkan, masa muda penuh cerita itu.

Satu lagi, hubungan antara senior-junior akan jauh lebih akrab pasca BCS karena proses ini membuat kita mengenal keberadaan orang lain. Belajar menempatkan diri di lingkungan yang tidak seusia dengan kita. Saya ingat lagi, di akhir tahun keempat, masa menunggu wisuda, siang hari saya keluar naik sepeda motor hendak membeli makan siang, sungguh sial saat itu saya tertabrak pengendara motor ugal-ugalan dengan kecepatan tinggi, saya jatuh terluka, motor rusak parah. Lalau apa hubungannya dengan BCS? Saya ingat saat itu di antara kerumunan orang-orang, ada dua adek angkatan 2010 yang ikut turun dari motor mengenali saya dan mencoba melihat kondisi saya. Mereka akhirnya menemani saya hingga selesai semua urusan, termasuk mengobati luka, membawa ke bengkel terdekat, dan bernegosiasi dengan pengendara motor ugal-ugalan tadi terkait ganti rugi kecelakaan (pengendara motornya agak serem, preman setempat, saya yakin kalau tidak ada mereka, dia akan kabur dari tanggungjawabnya). Dalam hati saya bersyukur mengucap terimakasih, untung mereka mengenali saya sebagai seniornya, untung saya cukup kenal dia ketika saya menjadi asisten dosen di salah satu matakuliah mereka.  Masih banyak lagi cerita antara senior dan junior, tidak jarang yang akhirnya terjebak dalam kisah cinta hingga berujung pada ikatan pernikahan ;)

Oiya kelupaan, belajar membuat dan berlatih yel-yel itu bukan hal yang buruk lho. Di beberapa kesempatan, banyak training mewajibkan kita membuat yel-yel kelompok. Pengalaman masa lalu memberi ide yang lebih banyak hehehe. Selain yel-yel, sebenarnya yang harus kita tahu adalah Mars Vivat Statistika, yang konon kabarnya maba 2013 hingga sekarang belum bisa karena belum pernah diajarkan. Jaman saya maba, saya dan teman-teman sudah bisa melantunkan Mars Vivat di hadapan senior dan para wisudawan/wati. Setiap liriknya begitu indah, bagaikan doa dan harapan untuk Statistika ITS tercinta. Apakah hal semacam ini dikatakan tidak penting? Bukankah sebuah negara juga mempunyai lagu kebangsaannya, bahkan ITS pun mempunyai lagu mars sendiri. Di tempat saya bekerja pun, saya juga harus menghapalkan lagu mars perusahaan.

Di sisi yang lain, saya juga menyayangkan bila dalam proses BCS masih ada bentakan-bentakan tidak bermutu (kalimat kotor) dan senioritas dengan motivasi yang salah, saya sungguh tidak sepakat. Saya coba sampaikan dalam kesempatan tulisan ini kepada kelompok B, bahwa ketika mendapat amanah untuk melakukan pengkaderan itu, mari kita posisikan niat baik dan tulus, kita lakukan dengan cara yang cerdas, bukan asal bentak dan marah tanpa otak. Senior harus bisa ‘memaksa’ maba berpikir keluar dari zona nyaman dan kreatif mencari solusi, bukan membuat mereka minder dan ketakutan saja. Satu poin dalam Grand Design BCS yang masih saya ragukan adalah “Hakekat Manusia” poin ini sampai sekarang menyimpan kontroversi karena metodenya yang dianggap ‘kurang memanusiakan manusia’, namun saya paham maksud baik di dalamnya, jadi saya sarankan untuk mencari metode yang lebh cerdas dan berkualitas. Dan saya lihat perkembangannya semakin ke sini proses pengkaderan BCS ini mengalami perbaikan, semoga hingga nanti tetap dievaluasi dan dikembangkan dengan cara yang terbaik.

Akan sangat menyenangkan dan bermanfaat, ketika pengkaderan BCS yang disiplin namun tetap hangat kekeluargaannya, menjiwai core values internal namun tetap berpikiran terbuka, global mindset. Penugasan BCS dapat di-upgrade menjadi hal-hal yang lebih modern: membuat blog, menulis artikel/mading, membaca buku dan membuat resume-nya, melakukan wawancara dengan tokoh penting atau orang-orang lingkungan sekitar. BCS bisa sekaligus dipakai untuk menggali passion dan menekuninya, membuat resolusi dan mengevaluasinya. Banyak hal yang bisa dilakukan ketika masih muda. Dahlan Iskan pernah berkata, “Setiap manusia itu mempunyai jatah gagal, habiskanlah jatah gagal itu selagi kau muda, di sanalah kau belajar”.

Jadi pada akhirnya saya berharap komunikasi dua arah harus tetap dilakukan untuk mengambil kebijakan terkait BCS ini bukan saling menjatuhkan. Berpikiran terbuka salah satunya ditunjukkan dengan cara mencoba memahami sudut pandang orang lain, bukan asal “pokoknya begini, pokoknya begitu”.

Semoga sukses dan selalu mari junjung sportivitas, memangnya cuma kompetisi bola saja yang harus sportif, menyelesaikan masalah yang pro kontra begini juga butuh sikap yang sportif lho :)


No comments:

Post a Comment