Pages

Saturday 22 November 2014

Kudapan Malam Sabtu: Bicara Batu Bara

Postingan malam Sabtu, edisi serius. Lama sudah tak menulis, tulisan terakhir hampir setengah tahun yang lalu. Mencoba kembali mengasah kemampuan memasangkan kata demi kalimat, mencocokan isi yang tersurat dan yang tersirat. Semoga masih bisa dinikmati, kalau tidak enak dibacaskip saja tulisan berat saya kali ini. Feedback saya bagian mana yang menyesakkan atau membosankan untuk dibaca. Feel free to be complained.

“Bagaimana pertambangan batubara melukai perekonomian Indonesia?”

Itu headline jurnal Greenpeace yang baru selesai saya baca. Cukup panjang dan berat, sampai harus dibaca berulang-ulang padahal cuma 14 halaman A4. Straight to the point. Judul yang bombastis berhasil menarik saya ke dalam isi jurnalnya. Sebagai salah satu manusia yang “makan” dari hasil usaha pertambangan batubara, saya membaca dengan subjektifitas kontra pada judul tulisan itu. Namun paragraf demi paragraf jurnal itu membuat saya lebih sadar, hey we’re walking in wrong waywe’re now in the way into blind alley. Dan tidak mungkin jika industri batubara bertahan dengan cara yang salah maka akan tiba pada masanya, harga batubara benar-benar di angka 0 (alias tak terbutuhkan) dan sisa eksploitasi hanya menyisakan penyesalan. *tarik nafas dulu*


Apa yang salah?

Oke, sebelum sampai kesana, saya ingin state bahwa saya bukan termasuk orang yang menolak eksploitasi alam demi kebutuhan umat manusia, saya percaya bahwa semua mineral, minyak, gas, dan sumber daya alam lain yang ditemukan manusia sebagai suatu barang berharga dan bermanfaat ini adalah ANUGERAH. Dan sudah semestinya bisa dieksploitasi untuk peradaban manusia. Tuhan menciptakan seisi dunia ini dengan maksud dan kebaikan untuk semua makhlukNya kan? That’s why I agree on this field. Tapi, lakukan semuanya dengan benar, sesuai prosedur kalau kata manajemen, dan memang membawa makna positif lebih banyak daripada hal negatifnya bagi umat.

Jadi, industri pertambangan batubara di Indonesia sedang berjalan ke arah yang salah karena keberadaan industri ini hanya sebatas ekonomi produksi,bukan ekonomi investasi. Dalam jurnal Greenpeace ini, saya menemukan fakta bahwa Indonesia yang cadangan batubaranya cuma 3% dari cadangan batubara dunia ternyata selama tahun 2010-2012 menjadi raksasa eksportir batubara ke Cina dan negara di Asia lain, bahkan pada tahun 2011 Indonesia mengalahkan  Australia (yang dikenal sebagai negara penghasil batubara terbesar di dunia). Bisa dibayangkan seberapa masifnya eksploitasi untuk ekspornya?

Ekspor besar-besaran jelas bukan prestasi, keuntungannya tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkannya. Pada akhirnya akan berakhir sama seperti tambang emas di Grasberg Papua, emas Indonesia milik PT Freeport :(. Keuntungan produksi batubara secara masif untuk kebutuhan ekspor hanya bersifat sementara (jangka pendek), justru suatu saat (yang sekarang sudah mulai dirasakan) akan menimbulkan fluktuasi besar dalam neraca pembayaran. Digantung oleh kondisi perdagangan global membuat industri batubara mudah goyah, dimana-mana digantungkan memang menyebalkan.Revenue dari ekspor komoditas masih lebih kecil dibandingkan dengan cost yang dikeluarkan untuk impor produk. “Penyakit” ini sebenarnya sudah menjangkit komoditi minyak bumi terlebih dulu. Produksi minyak bumi di Indonesia begitu gencar, namun kebutuhan impor bahan bakar minyak produk jadi masih jauh lebih tinggi juga. Untung? Think again!

Ada fenomena unik yang membuktikan pengaruh kuat industri batubara pada perekonomian Indonesia. Masih dari sumber yang sama, disebutkan setelah krisis ekonomi nasional tahun 2008, nilai rupiah terhadap USD terus menguat bahkan cenderung meningkat tajam, sampai pada akhirnya di tahun 2013 anjlok karena krisis ekonomi menyerang dunia, saat itu batubara (dan mineral lainnya) kelebihan stok dan harga pun terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, dia tenggelam dalam lautan luka dalam… *kok jadi nyanyi?*

Fokus pada ekonomi produksi akan menghambat pengembangan industri lain yang bernilai lebih tinggi di masa depan. Apa contohnya? Mari kita belajar pada negara China, tak salah pepatah mengatakan untuk belajar jauh hingga ke sana. Mereka mulai membatasi impor batubara, mengoptimalkan produksi untuk kebutuhan domestik. Tujuannya apa? Jelas untuk memperkuat stabilitas ekonominya. China menjadi negara dengan produksi batubara terbesar , setengah sendiri dari total konsumsi dunia, namun dia juga menjadi konsumen terbesar di dunia. Produksi batubaranya bukan untuk kepentingan “jualan” namun menjadi konsumsi domestik untuk energi termal listrik dalam memproduksi baja, semen, kaca, dan bidang usaha lain dalam skala besar. Sementara Indonesia, industri batubaranya hanya menyumbang 3% pada PDB dan penggunaan komoditi batubara hanya 1%. IYA, BAHKAN ANGKA SEBENERNYA TAK SAMPAI 1%, TEPATNYA 0,9% yaitu di PLTU Batubara sebesar 0,5%, pembuatan baja 0,2%, sisanya 0,2% untuk industri-industri lain. 

Kaget? Silahkan. Saya yang setiap hari melewati lubang-lubang tambang, menghadap komputer menghitung dalam angka jutaan produksi batubaranya, terkaget-kaget ternyata pemakaian untuk domestik tak sampai 1%, dan keuntungan ekspornya pun tak lebih dari 3% terhadap PDB. Mungkin angka ini masih bisa didebat, dihitung ulang, mungkin saja ada parameter-parameter lain yang tidak dimasukkan. Tapi sebagai penghuni wilayah Kalimantan, saya cukup merasakannya. Jangan tanya berapa kali listrik mati di sini? Tak terhitung saking seringnya. Padahal logikanya, sumber batubaranya ada di sini bisa dipakai untuk pembangkit listrik, mengapa justru kekurangan listrik? Sederhananya begitu sih… 

Pada intinya, kunci untuk meloloskan diri dari jalan buntu adalah memperkuat pasar domestik untuk industri batubara ini. Istilahnya masak sendiri untuk dimakan sendiri, dan jauh lebih baik jika dikonsumsi untuk usaha-usaha yang sifatnya investasi jangka panjang. Saya bersyukur setidaknya perusahaan saya (bukan punya saya) sudah mulai melangkah ke arah sana, membuat usaha sendiri untuk mengkonsumsi batubaranya sendiri. Bukan spoiler. Bukan juga curhatan soal pekerjaan. Jadi yang mau komen tentang itu tak ditanggapi :p. Btw, tulisan di jurnal Greenpeace yang saya baca tidak menjelaskan inti yang sama dengan tulisan ini. Karena jelas tujuan tulisan itu untuk menyelamatkan lingkungan, mewujudkan negara bebas batubara.

Terakhir, saya teringat sebuah gambar yang berisi foto dengan caption berita yang cukup menggelitik rasa penasaran dan juga kesedihan, kalian bisa lihat sendiri isi fotonya dan baca teks di bawahnya...



No comments:

Post a Comment