Pages

Saturday, 5 December 2015

Sedewasa Anak Kecil Dalam Memaafkan

Sudah hampir satu minggu saya tak menyapa adik saya, Ambar. Ia saat ini memasuki tahun kedua kuliah dan sejak tahun pertamanya ia sudah ikut tinggal bersama kami, saya suami dan anak perempuan saya Bintang yang baru berusia 7  tahun. Kebetulan rumah kami berada di kota tempat Ambar menempuh sekolah sarjananya sehingga Ibu menitipkan Ambar bersama saya. Pagi setelah saya mengantar Bintang ke sekolah, sambil memasak, saya masih mengingat-ingat kemarahan saya malam itu.

*

Saya kehilangan uang dengan nilai yang tak sedikit siang itu. Uang yang rencananya akan saya gunakan untuk belanja bahan dapur menyiapkan pesanan catering sebuah perusahaan. Saya panik. Uang itu raib sehari sebelum pesanan diambil. Saya jelas tak akan meminta pada suami karena gajinya sudah habis untuk membayar cicilan, kebutuhan rumah tangga dan asuransi pendidikan Bintang. Terakhir saya ingat uang itu masih di laci kamar saya, rapi terbungkus amplop putih. Hingga malam menjelang, saya tak berhasil mengumpulkan uang dengan jumlah yang sama. Saya membelanjakan seadanya, dan buru-buru menghubungi pemesan catering. Alhamdulillah, mereka memaklumi dan menerima apapun menu catering yang akan saya siapkan. Tapi dalam hati, saya masih dongkol dan kecewa.

Esok malamnya, ketika kami sekeluarga bersama menonton tv, tiba-tiba Ambar menghampiri saya. Dia datang membawa pengakuan yang mengagetkan. Rupanya uang modal catering diambil oleh Ambar diam-diam untuk membeli hp baru, iphone seri terupdate. Saya makin marah. Saya tak habis pikir dengannya. Dia selama ini hidup dengan gaya mewah padahal kehidupan kami serba terbatas. Biaya kulihnya masih ditanggung Ibu, sementara uang sakunya kami beri tak lebih tak kurang, cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanannya. Dan sekarang apa? Dia mencuri uang saya hanya untuk membeli hp baru. Ambar berkali-kali memohon maaf dan mengatakan bahwa ia tak bermaksud mencurinya, ia hanya ingin meminjam dan bernecana mengembalikan ketika uang beasiswanya cair. Ambar berkelit ia tak tahu bahwa uang itu akan dipakai untuk modal catering saya.

Saya pergi meninggalkan percakapan malam itu lebih dulu, masuk ke kamar, dan menangis marah. Sejak kecil, Ambar selalu mendapatkan apa yang ia mau lebih mudah. Ia lahir dan besar ketika keluarga Bapak dan Ibu sudah lebih mapan. Berbeda kondisinya dengan masa kecil saya, saat itu Bapak baru mulai usahanya dari nol, jatuh bangun untung rugi dialaminya bertahun-tahun. Saya heran, mengapa adik saya tak kunjung dewasa dan mandiri. Sudah lama saya perhatikan Ambar terlalu jauh mengikuti gaya hidup mewahnya, keluar masuk mall menenteng kantong belanja, isi kamarnya penuh gadget terbaru yang sedang nge-tren di kalangan anak muda.

Sudah, biarkan kali ini jadi pelajaran untuknya. Saya tidak akan memaafkannya. Saya juga tidak akan lagi memedulikan kebutuhannya. Dia harus tau bagimana sulitnya mencari uang.

**

Bintang pulang sekolah lebih awal karena ada ujian akhir untuk kelas 6 SD di sekolahnya. Setiap hari ia selalu bercerita banyak hal yang dialaminya di sekolah. Kali ini, Bintang berceloteh tentang sahabatnya Fiyo. Saya mengenal Fiyo sebagai teman sebangku Bintang, sejak TK mereka sudah berteman dan sekarang pun satu kelas di sekolah dasar. Bintang bercerita, hari ini ia tak makan siang karena bekal yang saya berikan untukknya dimakan Fiyo. Bintang awalnya tidak tahu kalau makanannya diambil Fiyo, Bintang kehilang bekal di dalam tasnya ketika jam makan. Namun beruntung, hari itu Ibu Sinta guru Bahasa Indonesia membagikan kue dalam rangka ulang tahun anaknya. Ketika pulang sekolah, Fiyo menghampiri Bintang mengembalikan bekal yang nasi dan lauknya sudah habis. Fiyo minta maaf karena makan bekal Bintang tanpa seizin Bintang, dia kelaparan karena tak sarapan dan malam sebelumnya hanya makan mie.

Saya cukup terhenyak mendengar cerita Bintang. Ada sedikit kekesalan dalam hati saya, anak saya tak makan karena temannya, saya sudah berpikir ingin menemui ibu Fiyo besok di sekolah ketika mengantarnya. Tapi kemudian Bintang meneruskan ceritanya, yang pada akhirnya meluluhkan hati saya.

“Mama, tadinya Bintang sedih ketika Fiyo mengambil bekal makan Bintang. Tapi Bintang lebih kasihan kalau dia tak makan apapun seharian. Jadi Bintang waktu itu langsung peluk Fiyo, Bintang maafin Fiyo, karena Bintang ngga mau kalau musuhan sama Fiyo ma. Fiyo kan sudah minta maaf ya ma, jadi masa Bintang masih marahin lagi. Alloh aja selalu maafin Bintang kalau Bintang dosa ketinggalan sholat subuh. Bener kan ma?”

Saya terhenyak. Tepat sekali apa yang Bintang katakan. Allah saja Maha Pemaaf, mengampuni dosa-dosa setiap manusia. Mengapa saya yang seorang manusia tak sempurna ini begitu kukuh menyimpan dendam dan tak memaafkan seseorang, bahkan bukan pada orang lain melainkan saudara sendiri. Setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua, menerima maaf setelah minta maaf dan menyesali kesalahannya. Malam ini saya akan berbicara dengan Ambar, saya tak perlu mengajarnya dengan amarah seperti ini. Saya akan memaafkannya untuk kemudian bisa kembali dekat dan menasehatinya dengan penuh kasih. Terkadang saya malu, sebagai seorang yang mengaku dewasa, ternyata justru tidak lebih dewasa dari anak kecil dalam memberi maaf dan mengasihi sesama. Saya peluk Bintang erat-erat, saya gendong meski beratnya tak lagi ringan. Dia tertawa ceria sekali.
“Terimakasih Bintang, mama belajar banyak hal darimu.”


***



Tulisan ini diikutsertakan dalam
Lomba Cerita Inspiratif (CERIA) “Gebyar Maulid Nabi 1437H Masjid Al Kahfii PAMA”
Tema: Celoteh Anakku Penuh Makna

1 comment:

  1. Tapi kadang kelakuan keluarga suka ngenes, Mbaaak.. Hahah.. Ah, kalok aku sih sukak luluh sendiri. Huhuhu..

    ReplyDelete