Masih belum bisa tidur, sudah biasa begadang, jadi orang terakhir yang terlelap.
Apa ya, malam ini cuma mau mengeluarkan isi otak dan hati yang sedang ribut berisik sekali. Saya mau kembali menulis biar lega, kata orang menulis adalah salah satu stress relieve. Ada benarnya juga sih, dulu salah satu obat galau ya menulis hehehe. Plus-nya lagi menulis adalah dokumentasi yang bisa dibaca lagi, diingat lagi detil ceritanya, seru.
Ok, kembali membahas keresahan hati.
Kemarin di twitter ada salah satu akun financial planner yang membahas soal gaji, share anonim pengalaman gaji orang dibumbuin kalimat-kalimat bombastis. Sebenarnya sharing nominal pemasukan ini sudah jadi tren akun-akun berbasis financial di berbagai sosial media belakangan ini. Niatnya sih memotivasi tapi efek terasanya lebih ke perasaan anxiety dan inferior karena ya akhirnya mau tidak mau jadi membandingkan penghasilan yang lebih besar daripada kita.
Itu satu.
Lalu kemudian, flashback kondisi kami beberapa bulan terakhir yang sedang diuji dengan ditutupnya pabrik tempat suami bekerja, percayalah tak ada yang tak mungkin dalam bisnis, meski bernaung di nama perusahaan besar sekalipun. Satu bulan, itu lamanya kami menunggu jodoh perusahaan baru datang. Alhamdulillah. Sebentar tapi rasanya hari yang kami lewati terasa lama, mengapa begitu? Karena saya tidak berserah. Mulut bisa berkata, "Aku yakin Allah sudah menjamin rezeki umatNya", tapi logika manusia (eh saya ding maksudnya) masih mempertanyakannya, mengkhawatirkannya. Yakin sudah berserah?
Masa itu sudah terlewati, suami sekarang sudah dapat pekerjaan baru, yang semuanya jawaban dari doanya secara spesifik, posisi lebih tinggi, gaji naik, dan lokasi lebih dekat. Semua diberikan sesuai yang diminta, oleh Allah Al Mujiib, yang Maha Mengabulkan. Alhamdulillah. Lalu malam ini saya mengkhawatirkan apalagi? Dasar manusia lemah iman. Iya kamu, Nana!
Jadi ceritanya saya habis baca beberapa artikel tentang resesi di US yang konon diramalkan terjadi tahun 2020. Wow. Lalu mulai merambat ke mana-mana, akibat resesi ini itu, apalagi perusahaan suami bekerja sekarang adalah perusahaan US, akhirnya jadi khawatir, bagaimana kalau begini kalau begitu.
Mana katanya berserah pada rencana Allah? Kurang bukti apalagi nikmat dan rejeki yang sudah sedemikian melimpahnya dari Allah, Ar Razzaaq? Yakin sudah berserah?
Saya, selemah-lemahnya manusia, yang masih mengandalkan kekuatan sendiri, menghitung dengan kalkulator duniawi, sombong dengan logika yang ia punyai.
Tulisan ini jadi pengingat buat saya.
Yakin sudah berserah?
No comments:
Post a Comment