Pages

Thursday, 24 November 2016

Pillow Talk: Hakekat Kehidupan

Sudah lama rasanya tidak lagi menulis sesuatu selain curhatan ala emak-emak akhir-akhir ini. #OOT Blog ini jadi saksi perjalanan menulis saya dari yang alay curhat remaja, sharing ide, uneg-uneg sosial politik, pengalaman spiritual, sampai ke topik pernikahan dan keluarga sekarang. Campur aduk kayak gado-gado, saya kalau ditanya niche blog ini apa, belum menemukan spesifiknya, judulnya saja Nana's World in Words, artinya semua-semua yang ada dalam dunia versi saya tertuang di blog ini.

Hari ini saya gatel mau mendokumentasikan obrolan saya dan suami beberapa hari lalu menjelang tidur malam. Pillow talk. Terakhir saya menulis topik serupa hampir setahun lalu, baca di sini.

Singkat cerita, karena satu lain hal, tibalah kami dalam topik soal mengalahkan diri sendiri. Apanya yang dikalahkan? Semua hal negatif, utamanya emosi. Mengalahkan emosi sendiri artinya mampu mengendalikan diri sendiri. Sudah itu saja hakekat hidup ini, begitu yang dipikirkan oleh suami saya.
Then, saya memikirkan kembali ucapannya berkali-kali. Saya mengerti maksudnya. Sejatinya memang dalam menjalani hidup itu dimulai dari diri sendiri. Cliche but easy to be forgotten. Kita memang hidup berdampingan dengan manusia lainnya, bahkan makhluk hidup jenis lainnya. Tetapi dalam kehidupan sosial tersebut, bukan mereka yang menentukan hidup kita, melainkan diri kita sendiri. Kita tidak berhak menyalahkan kondisi di luar diri kita, seburuk apapun itu. Mengapa? Karena kita dibekali akal pikiran dan hati nurani untuk menyikapinya. Bebas. Pilihannya tergantung kita sendiri. Dan pilihan tersebut yang kemudian menentukan jalan hidup kita.

Hakekat kehidupan adalah seberapa kita hebat mengatasi diri sendiri. Dan perjalanan hidup ini kita pakai untuk belajar hal tersebut. Endless learning process.

Kalau saya masih mudah tersinggung ketika disalahkan orang, entah itu memang benar adanya saya salah atau tidak, saya sesungguhnya belum bisa mengatasi diri saya. Mengapa harus merespon dengan emosi marah dulu ketika ada sesuatu yang tidak benar? Bukankah lebih bijak jika mengiyakan saja dulu untuk menghindari konflik, dan membuktikannya kemudian, agar orang tersebut melihatnya dengan jelas dan menyadari kesalahannya (jika saya tidak terbukti salah), begitu pun ketika saya sebenarnya memang salah, saya menjadi lebih mudah menyadari kesalahan. -got the point? rempong ya penjelasannya?-

Atau, contoh lain. Ada orang penakut, takut bicara di depan umum, takut dengan sesuatu -phobia-, takut mengambil risiko, takut setan, dan jenis takut-takut lainnya. Jujur, akuilah, dalam hidup kalian, pasti ada berbagai macam ketakutan-ketakutan bukan?  Lalu apakah kemudian kamu boleh menyalahkan sumber ketakutan itu? TIDAK. Diri sendirilah yang menentukan untuk melawan ketakutan itu atau menyerah selamanya takut.

Jadi hidup hanya seputar itu-itu saja, kuncinya pengendalian diri sendiri. Bukan yang lain.
Itulah yang saya pelajari dari sikap suami saya. Dia memang jauh lebih baik dalam hal menangani diri sendiri. Saya masih harus banyak belajar, dan harus sering diingatkan olehnya. Meski sulit, hehehe. Jadi menurut seorang Farid Fawwaz Ikbar, orang yang sukses adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, mampu mengendalikan, mengalahkan, menahan sisi negatif keluar dari dirinya. Teori ini menurut dia berlaku dalam hal apapun.

Yes, I do agree for him.

Saya menyadarinya, tapi saya belum melakukannya dengan cukup baik dalam beberapa hal, jadi ayo kita terus belajar. :)

Sampai ketemu di tulisan random berikutnya.

No comments:

Post a Comment