Pages

Saturday, 25 April 2015

Badai Saat Hujan, Pasti Berlalu

Saya ingin menuliskannya dalam sebuah buku kelak. Tentang jodoh. Tentang hubungan dua makhluk manusia yang berbeda, kaum adam dan hawa. Dua orang yang dengan karakter bertolak belakang, ibarat makhluk mars dan venus kata orang-orang.
 
Malam kemarin 24 April, ingat baik-baik Nana hari ini, kami sempat goyah. Lucu memang hati manusia, baru dua hari lalu, kami sangat bahagia duduk mengobrol di teras mess ketika hujan deras mengguyur tanah. Pagi esoknya kami akhirnya bisa duduk satu seat di bis, perjalanan setengah jam yang berarti saat itu. Toh, malam ini saya tetap menangis untuknya.
 
Semua begitu cepat terlewati, dari mulai masa perkenalan hingga keputusan untuk hidup bersama. Dan tiba-tiba keraguan itu muncul dalam diri saya. Bukan ragu untuknya, tapi ragu pada diri sendiri, sudah baikkah saya untuknya? Saya takut dia mengenal saya terlalu cepat, hanya melihat saya sebatas permukaan. Saya ingin memastikan bahwa saya mampu menjadi istri baik kelak untuknya, termasuk menjadi calon menantu yang pantas untuk keluarganya. Tapi sungguh saya tak pernah ragu padanya, saya mengenali perasaan saya sendiri, bukan dia yang saya ragukan.
 
Pada akhirnya dia menangkap makna yang berbeda. Dia yang sangat yakin awalnya, mendadak jadi ikut ragu, karena dia merasa saya meragukannya. Situasi berbalik. Berat saya melewati malam kemarin. Sakitnya berbeda. Ini namanya sayang? Atau cinta? Ah saya tak peduli apapun judulnya, tapi saat itu saya mulai ketakutan, takut kehilangannya. Dia bersikeras mengatakan sayalah yang ragu padanya, saya bingung harus dengan apa saya membuktikan bahwa saya tidak meragukannya, hanya saja keputusan menikah itu sometime really worry me. Secepat inikah? Betulkah saya dan dia pantas hidup bersama? Cukupkah masa perkenalan kami?

Jujur, ini pengalaman pertama saya mengenal 'orang istimewa' yang berbeda dari biasanya. Dan saya melewati proses  anti mainstream dengannya. Saya tak cukup tahu apakah benar seperti ini? Ya Allah... memang tak seharusnya dua insan manusia berbeda ini terlibat perasaan terlalu mendalam sebelum sah di hadapanMu. Bagi saya, ini seperti pengingat. Saya seharusnya menghadapNya lebih sering untuk meyakinkan dan memantaskan diri, menenangkan hati dan menentramkan otak. Bukan justru berpikir terlalu rumit untuk sesuatu yang belum terjadi juga, ujung-ujungnya berbeda pendapat dan 'perang gengsi-ga peka-an'. Saya ingin meng-kambinghitam-kan status gender wanita yang lemah dengan perasaan, tapi itu tak adil. Saya tetaplah saya, yang berhak mengatur perasaan hanya saya.
Drama sekali kejadian semalam. Saya menyesal. Entah apa yang sekarang sedang dia pikirkan tentang saya, mungkin kadar keyakinannya berkurang atau mungkin dia sedikit menyesal. Dia akhirnya melihat sisi terlemah saya. Pasrah.
 
Sebelum malam dan mata ditutup untuk kembali ke peraduan dunia mimpi, saya dan dia menginginkan ini jangan sekali lagi terulang. Reda. Lega. Katanya, anggap saja ini adalah bentuk tantangan yang harus dilewati ketika dua orang hebat akan bersatu. Aamiin.
Saya mengetik ini dalam perjalanan ke kantor, hati saya masih risau. Begini ya rasanya takut. Iya saya akan berusaha yang terbaik untuknya, mengimbangi usaha terbaiknya selama ini...
karena saya tahu bagaimana rasa tidak enaknya berjuang sendirian.
 
 
 
===
Semalam hujan mungkin terlalu deras, angin kencang. Tapi badai tak pernah abadi, akan ada masanya semua reda, jika beruntung pelangi indah muncul. Badai perasaan, manusia bisa mengontrolnya hingga tak perlu tercipta badai yang merusak.
 
 
 
Maaf, Farid.
Terimakasih orang itu kamu.

2 comments:

  1. mbak nana, coba deh sholat Istiqarah.. Insha Allah ada jawabannya dari Allah :)) Insha Allah setelah shlat tau kemana harus melangkah. Semangat mbak nana semoga selalu dilindungi oleh Nya :))

    ReplyDelete
  2. In Shaa Allah yang baik-baik yang akan terjadi yah.. Aamiiin..

    ReplyDelete